![]() |
MENGHARUKAN...!!! Anakku Tak Pernah Lihat Ayahnya Shalat |
Ibrahim At-Taimi mengungkapkan: “Bila engkau melihat seseorang
meremehkan Takbiratul Ula dalam shalat, cuci tanganlah dari
perbuatanmya…”
Bagi orang asing, negeri kami terlihat penuh kedamaian. Padahal, aku sedang berlari dan terus berusaha melupakannya.
Di sebuah kebun belakang rumah, seorang wanita tetanggaku menanyaiku
(tentang agama): “Apakah anda orang Islam?” Aku menjawab: “Kami semua
muslim.” Kuucapkan itu dengan tergesa-gesa. Karena aku malu, dan
khawatir kalau ia bertanya lebih banyak lagi.
Di sini, kami adalah kumpulan manusia yang terasing. Tidak kenal tidak
pernah tahu seorangpun. Kami pernah mendengar bahwa ada masjid di desa
kami, bahkan juga melihat menaranya bila kami melewatinya. Tetapi tidak
pernah masuk. Sampai-sampai dalam hari raya Ied, kami juga tidak datang
kesana.
Hari-hari kami bercampur aduk dengan hari-hari mereka, yakni orang-orang
kafir. Hari-hari raya kami juga saling bercampur aduk. Dengan kata
lain, kami disebut sebagai muslim, dalam KTP saja. Shalat tidak,
beribadahpun tidak. Tidak ada sesuatu yang menampakkan ke-Islaman di
rumah kami, selain sajadah shalat yang digantungkan di ruang tamu…
Bersama berlalunya waktu, suamiku ingin mengadakan perubahan. Bagaimana
kami menjalani hidup? Suamiku adalah orang bisnis dan disiplin. Ia suka
sekali bekerja, dan mati-matian dalam belajarnya…
Ia menyusupkan birokrasi formalnya ke dalam rumah tangga dan di dalam
pergaulan kami. Ia ingin, semuanya dilakukan tepat pada waktunya.
Sehingga tidak ada satu menit pun yang terbuang.
Adapun anakku, tidak memiliki jatah apa-apa untuk namanya. Ia tidak
mengenal Islam sedikitpun. Bahkan ia tidak kenal, sampai dua kalimat
syahadat sekalipun. Siapa Rabbmu? Apa agamamu? Dan siapa nabimu? Tidak
pernah terdengar di rumah kami…
Kami memasukkan ke sekolah bersama anak-anak tetangga kami. Kami
meninggalkan madrasah khusus untuk anak-anak kaum muslimin. Tidak ada
lagi waktu suami yang tersisa. Kami bertekad agar anak kami mempelajari
bahasa Inggris, meskipun ia masih kecil. Banyak menonton televisi dan
video, bermain bersama anak-anak tetangga. Demikian yang kami usahakan
terhadap dirinya…
Hubungan kami dengan kalangan pelajar (muslim) terputus. Bahkan hubungan
kami dengan negeri kami pun terputus… Terkadang ada telepon yang
mengabarkan kepada kami bahwa si Fulan meninggal dunia, atau kerabat
kami menikah. Di negeri asing ini, aku mengemban tanggung jawab terhadap
segala sesuatu…
Membeli segala kebutuhan, sampai mengoreksi faktur. Kehidupan di tempat
asing ini sedikit terobati dengan adanya anakku, penghibur kami ketika
pulang kerja. Keinginanku untuk mengunjungi keluarga, tidak terbatas
lagi. Akan tetapi?
Terjadilah percakapan panjang dari orang tua suamiku. Ia bersikeras agar
kami mengunjungi mereka musim panas ini. Semakin panjang pembicaraan
itu, aku semakin gembira. Karena aku tahu, orang tuanya amat berhasrat
untuk berjumpa. Setelah mengemukakan berbagai alasan mentah, akhirnya
suamiku berkata kepada ayahnya: “Mereka berkunjung tanpa aku? Aku sibuk
sekali….”
Setelah suamiku meletakkan gagang telepon, aku menunggunya mengucapkan
sesuatu. Namun tampaknya ia tegang sekali… Setelah diam sejenak, ia
berkata: “Ayahku ingin sekali kita berkunjung, tetapi aku tidak bisa
pergi. Waktu kita akan habis untuk pulang pergi saja.” Aku berkata:
“Sudah dua tahun kita tidak pergi ke sana.” “Kalau begitu, kalian yang
pergi saja…”
Aku pun memesan tiket dan menyiapkan koperku. Aku akan pergi
meninggalkan kotaku menuju ibu kota. Aku akan singgah di situ selama
tiga hari, aku perlu membeli banyak hadiah… Di perjalanan, anakku
terlihat gembira sekali.
Kita akan mengunjungi Fulan dan Fulan. Aku menghitung banyak sekali nama-nama. Semuanya tidak ada yang kulupakan.
Ketika kami masuk kota, anakku menanyakan tentang mereka. Aku bilang: “Bukan sekarang, nanti tiga hari lagi.”
Di kota ini, aku teringat dengan negeriku. Turis di mana-mana. Warna
cokelat terlihat di wajah mereka. Abaya (baju kurung) dijual di
pasar-pasar. Aku sangat gembira karena merasa sudah dekat dengan tanah
airku…
Kami makin mendekati… Satu atau dua hari, kami tinggal di kota itu. Pada
hari yang terakhir kami ada di sini, setelah selesai membeli segala
keperluan kami, aku pergi bersama anakku ke sebuah taman. Ada bebek
dekat sekali. Merpati juga seakan menyentuh tangan kami… Ada orang di
mana-mana, ada juga anak-anak kecil yang bermain bergembira ria…
Anakku mulai melempar sisa-sisa makanan ke arah bebek tadi, hingga
mereka mendekat. Di atas kursi, aku duduk seorang diri. Di sampingku,
ada seorang anak kecil berbicara dengan anakku. Begitu cepatnya mereka
kenal? Itu karena kejernihan hati mereka..
Aku memanggil nama anakku. Namun yang datang justru ibu dari anak yang
berbicara dengan anakku. Ia memberi salam, dan menyambutku dengan
hangat. “Anda juga turis sepertiku?” tanyanya. “Tidak. Aku akan pulang
meninggalkan kota ini.” jawabku dengan penuh kegembiraan. Seperti juga
anak anak kecil, aku juga ingin ada orang yang berbicara denganku. Aku
memuji tempat itu dan juga anak-anak yang bergembira ria di situ.
Ia mengajakku untuk minum teh bersamanya… Di tengah tanah yang hijau,
tersedia teh dan kopi. Wanita itu memperkenalkan: “Ini ibuku, ini
saudariku, dan yang itu istri saudaraku…” Masya Allah, satu keluarga
lengkap. Saya merasa senang berbicara dengan mereka..
Tiba-tiba datang seseorang dari jauh. Mereka semua memandang kepadanya
dan mengajaknya bercanda. Ia datang, dengan tongkat di tangannya. “Nah,
ini ayah kami!” Ia mengucap salam, namun ia tetap saja berdiri lalu
berkata dengan keras: “Kita tidak mendengar adzan dan iqamah..” Ia
mendoakan agar negeri kaum muslimin sebagai negeri kebaikan dan negeri
shalat..
Mereka memanggil si Fulan. Salah seorang dari wanita itu memanggil dua
anak kecil yang ada. Adapun anakku, dengan cepat berlari dan duduk di
sampingku. Sementara anak kecil yang lain, mungkin sudah terbiasa,
langsung membentangkan sajadah. Berdiri di samping dan langsung
bertakbir untuk shalat.
Mata anakku melotot melihat pemandangan. Ketika anak itu ruku’, lalu
sujud dan berdiri lagi, anakku berteriak gembira: “Ia shalat seperti
Papa Abdul Aziz!”
Ibu anak itu bertanya kepadaku: “Masya Allah, ayahnya bernama Abdul
Aziz?” Aku menjauhkan mukaku darinya sambil menyembunyikan mataku. Aku
menyandarkan kepala anakku di dadaku. “Betapa besarnya dosa yang engkau
lakukan?” gumamku. Aku menganggukkan kepala, ketika wanita itu mengulang
pertanyaannya.
Apa yang sedang menimpaku? Hatiku terasa bergetar dan diremas-remas. Ia
belum pernah melihat ayahnya shalat sekalipun. Abdul Aziz adalah
kakeknya.
Aku merasa wanita itu mengetahui hal itu. Aku berusaha menguasai diriku
sendiri… Aku bangkit berdiri. Aku membawa kedukaanku selama dua tahun
yang lalu… Aku meninggalkan dia dengan penuh kesedihan. Aku berkata
sendiri: “Anakku belum pernah melihat ayahnya shalat sama sekali..”
Seolah wanita itu turut mengulang kata-kata itu bersamaku. “Yang dia
lihat adalah kakeknya. Yang dia lihat adalah kakeknya..” Ketika masuk
kamar hotel, aku berwudhu dan shalat.
Di akhir sore, di rumah orang tuaku…
Kegembiraan terhadap tanah airku tidak meninggalkan makna apa-apa.
Semenjak aku sampai, tidak pernah hilang dari pendengaranku suara anakku
kemarin..
“Saya akan katakan kepadamu kejadian nyata yang kualami.” Engkau adalah saudariku. “Tenangkan hatimu…” ujarnya.
Persoalannya tidak sebagaimana yang engkau bayangkan. Tetapi jauh lebih
besar dari yang engkau bayangkan. Aku menangis, dan kuceritakan
kepadanya apa yang sebenarnya ada pada kami. Air mataku tak terbendung
lagi.
Ia berkata dengan sendu: “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un..”
Ia mendekati anakku dan mengelus kepalanya sambil berkata: “Batasan
antara kita dengan orang-orang kafir adalah shalat. Barangsiapa yang
meninggalkannya maka ia kafir.”
Ini adalah hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apakah engkau menerima bila dikatakan kafir? Apakah engkau menerima dinikahi oleh orang kafir? Apa engkau mau menerima?
Sumber : ukhtiindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar